@Jembatan Gantung

@Jembatan Gantung

Kamis, 01 Desember 2011

Tugas Individu PKLH Semester 3




MIGRASI PARA PAHLAWAN DEVISA DARI INDONESIA MENURUT PANDANGAN ISLAM

(MAKALAH KONSEPTUAL)




TUGAS INDIVIDU
Diajukan sebagai Persyaratan untuk Menempuh Ujian Akhir Semester 3 pada Mata Kuliah Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH)


Oleh:
ANDI PRASETYA
1013053036

                                           


PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR UPP METRO
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2011



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas individu berbentuk makalah dengan judul “Migrasi Para Pahlawan Devisa dari Indonesia Menurut Pandangan Islam” ini dengan baik. Makalah ini penulis susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) yang dibimbing oleh Drs. Sarengat, M.Pd.. Di dalam makalah ini penulis menjelaskan tentang migrasi para pahlawan devisa (TKI) menurut pandangan agama Islam. Migrasi tenaga kerja merupakan sebuah proses transnasional dan tanggung jawab untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan hal ini tidak dapat dilakukan oleh negara pengirim maupun penerima sendiri-sendiri. Kerjasama antar negara dalam menangani migrasi tenaga kerja sangatlah penting pada tingkat bilateral, regional dan multilateral.
Negara Republik Indonesia adalah negara yang menduduki ranking keempat di tingkat kepadatan penduduk di dunia dan merupakan sumber besar bagi ratusan ribu tenaga kerja yang mencari pekerjaan di Malaysia, Singapura dan Timur Tengah. Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri biasanya melibatkan para perempuan yang mencari pekerjaan di sektor non-formal. Lalu bagaimanakah agama Islam memandang hal ini? Di sini penulis akan menjabarkan beberapa pandangan Islam mengenai migasi para TKI.
Penulis menyadari sesungguhnya masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu, penulis mohon maaf apabila ditemui berbagai kesalahan di dalamnya. Semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, Amin Ya Robbal ‘Alamin.


                                                              Metro,   November 2011


                                                  Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................       i
KATA PENGANTAR............................................................................       ii
DAFTAR ISI...........................................................................................       iii
BAB I       PENDAHULUAN
           1.1. Latar Belakang ................................................................       1
                 1.2. Rumusan Masalah ...........................................................       2
     1.3. Tujuan .............................................................................       2
BAB II     KAJIAN PUSTAKA
                 2.1. Definisi Migrasi...............................................................       3
                 2.2. Teori-Teori Seputar Migrasi.............................................       4
                 2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Migrasi....................       5
BAB III    PEMBAHASAN
                 3.1. Sejarah Migrasi................................................................       9
           3.2. Pola, Arus dan Faktor yang Mempengaruhi Migrasi.......       5
                 3.3. Perilaku Migran pada Kajian Migrasi..............................       7
                 3.4. Pandangan Mengenai Migrasi TKI di Mata Hukum.......       12
                 3.5. Migrasi TKI Menurut Pandangan Islam..........................       15
BAB IV    SIMPULAN DAN SARAN
                 4.1. Simpulan .........................................................................       16
                 4.2. Saran-Saran......................................................................       16
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Analisis demografi memberi sumbangan yang sangat besar, baik kualitatif maupun kuantitatif pada kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan terjadikarena adanya dinamika kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan perpindahan penduduk (migrasi) terhadap perubahan-perubahan dalam jumlah, komposisi dan pertumbuhan penduduk. Perubahan-perubahan unsur demografi tersebut  pada gilirannya mempengaruhi perubahan dalam berbagai bidang pembangunan secara langsung maupun tidak langsung. Selanjutnya perubahan-perubahan yang terjadi di berbagai bidang pembangunan akan mempengaruhi dinamika kelahiran, kematian dan perpindahan penduduk.
Khususnya untuk migrasi, Tjiptoherijanto (2000) menyatakan bahwa migrasi penduduk merupakan kejadian yang mudah dijelaskan dan tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari, namun pada prakteknya sangat sulit untuk mengukur dan menentukan ukuran bagi migrasi itu sendiri.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menjadi salah satu sumbangan pengisi celah-celah yang masih dapat dimasuki dari sudut konsep. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjawab semua tantangan yang muncul karena tidak mungkin melakukannya. Kajian dalam tulisan ini akan menggunakan disiplin sosiologi dengan fokus pada migran sebagai individu. Dipilih kajian sosiologis karena bagian ini menjadi salah satu kekurangan yang terus-menerus dirasakan dalam kajian migrasi. Namun pendekatan sosiologi ini tidak dimaksudkan sebagai jawaban atas kekurangan itu. Hal ini hanya merupakan upaya untuk mencoba melihatnya dari sisi yang lain tentang migrasi.




1.2.       Rumusan Masalah
1.2.1.      Bagaimana sejarah migrasi?
1.2.2.      Bagaimana pola, arus dan faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi di Indonesia?
1.2.3.      Bagaimana perilaku migran pada kajian migrasi di Indonesia?
1.2.4.      Bagaimana pandangan hukum mengenai migrasi para TKI?
1.2.5.      Bagaimana migrasi para TKI menurut pandangan Islam?

1.3.       Tujuan
Tujuan laporan ini adalah untuk:
1.3.1.      Mengetahui sejarah migrasi.
1.3.2.      Mengetahui pola, arus dan faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi di Indonesia.
1.3.3.      Mengetahui perilaku migran pada kajian migrasi di Indonesia.
1.3.4.      Mengetahui pandangan hukum mengenai migrasi para TKI.
1.3.5.      Mengetahui migrasi para TKI menurut pandangan Islam.

















BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1.  Definisi Migrasi
Istilah umum bagi gerak penduduk dalam demografi adalah population mobility atau secara lebih khusus territorial mobility yang biasanya mengandung makna gerak spasil, fisik dan geografis (Shryllock dan Siegel, 1973 dalam Rusli, 1996: 136). Di dalamnya termasuk dimensi gerak penduduk permanen dan dimensi non-permanen. Migrasi merupakan dimensi gerak penduduk permanen, sedangkan dimensi gerak penduduk non-permanen terdiri dari sirkulasi dan komunikasi (Rusli, 1996: 136).
Definisi lain, migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetapdari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara ataupun batas administrasi/batas bagian dalam suatu negara (Munir, 2000: 116). Dengan kata lain, migrasi diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah (negara) ke daerah (negara) lain.
Migrasi sukar diukur karena migrasi dapat didefenisikan dengan berbagai cara dan merupakan suatu peristiwa yang mungkin berulang beberapa kali sepanjang hidupnya. Hampir semua definisi menggunakan kriteria waktu dan ruang, sehingga perpindahan yang termasuk dalam proses migrasi setidak-tidaknya dianggap semi permanen dan melintasi batas-batas geografis tertentu (Young, 1984: 94).
Untuk Indonesia sendiri, analis migrasi hanya dapat menggunakan data hasil sensus penduduk yang dilakukan 10 tahun sekali dan data sampel hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS), yang dilakukan di tengah-tengah antar dua sensus. Oleh karena itu, analisis migrasi masih sangat kurang dilakukan orang, mengingat data pendukung analisis ini sangat kurang sekali, kecuali jika program pendataan model registrasi penduduk telah dilakukan oleh suatu negara dengan baik.



2.2.  Teori-Teori Seputar Migrasi
Teori migrasi sebenarnya telah berkembang dan berbagai ahli telah banyak membahas tentang teori migrasi tersebut dan sekaligus melakukan penelitian tentang migrasi. Ravenstein (1885) memulai uraian tentang migrasi. Pendekatan Ravenstein ini dirasakan terlalu general sehingga sulit untuk memilih faktor-faktor determinan keputusan untuk melakukan migrasi.
Lee (1966) mendekati migrasi dengan formula yang lebih terarah. Lee menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan untuk bermigrasi dapat dibedakan atas kelompok sebagai berikut :
-          Faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat asal migran (origin).
-          Faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat tujuan migran (destination).
-          Faktor-faktor penghalang atau pengganggu (intervening factors).
-          Faktor-faktor yang berhubungan dengan individu migran.
Faktor-faktor yang ada di tempat asal migran maupun di tempat tujuan migran dapat terbentuk faktor positif maupun faktor negatif. Faktor-faktor di tempat asal migran misalnya dapat berbentuk faktor yang mendorong untuk keluar atau menahan untuk tetap dan tidak berpindah. Di daerah tempat tujuan migran fakor tersebut dapat berbentuk penarik sehingga orang mau datang ke sana atau menolak yang menyebabkan orang tidak tertarik untuk datang. Tanah yang tidak subur, penghasilan yang rendah di daerah tempat asal migran merupakan pendorong untuk pindah. Namun rasa kekeluargaan yang erat, lingkungan sosial yang kompak merupakan faktor yang menahan agar tidak pindah. Upah yang tinggi, kesempatan kerja yang menarik di daerah tempat tujuan migran merupakan faktor penarik untuk datang ke sana namun ketidakpastian, resiko yang mungkin dihadapi, pemilikan lahan yang tidak pasti dan sebagainya merupakan faktor penghambat untuk pindah ke tempat tujuan migran tersebut.
Jarak yang jauh, informasi yang tidak jelas, transportasi yang tidak lancar, birokrasi yang tidak baik merupakan contoh intervening faktor yang menghambat. Dipihak lain adanya informasi tentang kemudahan, seperti kemudahan angkutan dan sebagainya merupakan intervening faktor yang mendorong migrasi.
Pendekatan Lee tersebut sudah lebih terarah dibanding pendekatan dari Revenstein. Namun berbagai ahli terus mencoba menjabarkan lebih jauh untuk menemukan variabel kebijaksanaan yang dapat digunakan untuk mempengaruhi keputusan bermigrasi dari penduduk.
Lewis (1954) dan Fei dan Ranis (1971) menganalisa migrasi dalam kontek pembangunan. Mereka membagi sektor perekonomian atas sektor tradisional dan sektor modern, sektor pertanian dan sektor industri. Sedangkan migrasi terjadi dari sektor tradisional ke sektor modern, dari sektor pertanian ke sektor industri. Tetapi beberapa kelemahan menyebabkan pendekatan Lewis, Fei dan Ranis ini tidak selalu dapat diterapkan.
Sjaastad (1962) dan Bodenhofer (1967) mendekati migrasi lewat teori human investment. Mereka menyatakan bahwa migrasi adalah suatu investasi sumber daya manusia yang menyangkut keuntungan dan biaya-biaya. Biaya-biaya bermigrasi tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) Risiko, (2) Pendapatan yang hilang (earning forgone), (3) Ketidaknyamanan karena meninggalkan kampung halaman (disutility of moving), (4) Ketidaknyamanan dalam perjalanan, (5) Ketidaknyamanan di lingkungan baru, dan (6) Psychic costs (biaya psikhis) karena berbagai ketidaknyamanan tersebut.
Sedangkan benefit yang diperoleh adalah pendapatan yang lebih baik yang diperoleh di daerah baru nantinya. Todaro (1976) menyatakan bahwa pendapatan tersebut dalam bentuk expected income (pendapatan yang diharapkan).

2.3.  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Migrasi
Sementara itu, Lee (1966) mengajukan empat faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi yaitu: (1) Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, (2) Faktor-faktor yang terdapat di tempat tujuan, (3) Rintangan-rintangan yang menghambat, dan (4) Faktor-faktor pribadi.
Di setiap tempat asal ataupun tujuan, ada sejumlah faktor yang menahan orang untuk tetap tinggal di situ, dan menarik orang luar untuk pindah ke tempat tersebut, ada sejumlah faktor negatif yang mendorong orang untuk pindah dari tempat tersebut dan sejumlah faktor netral yang tidak menjadi masalah dalarn keputusan untuk migrasi. Selalu terdapat sejumlah rintangan yang dalam keadaan-keadaan tertentu tidak seberapa beratnya, tetapi dalam keadaan lain dapat diatasi. Rintangan-rintangan itu antar lain adalah mengenai jarak, walaupun rintangan "jarak" ini meskipun selalu ada, tidak selalu menjadi faktor penghalang. Rintangan-rintangan tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda-beda pada orang-orang yang mau pindah. Ada orang yang memandang rintangan-rintangan tersebut sebagai hal sepele, tetapi ada juga yang memandang sebagai hal yang berat yang menghalangi orang untuk pindah.
Sedangkan faktor dalam pribadi mempunyai peranan penting karena faktor-faktor nyata yang terdapat di tempat asal atau tempat tujuan belum merupakan faktor utama, karena pada akhirnya kembali pada tanggapan seseorang tentang faktor tersebut, kepekaan pribadi dan kecerdasannnya.
Sahota (1968) dalam penelitiannya menemukan faktor penghambat dalam keputusan bermigrasi adalah pendapatan yang hilang di daerah asal dan biaya akomodasi (penginapan) di daerah baru. Makanya orang lebih mudah pergi ke suatu tempat jika di sana ada kerabat atau keluarga yang dapat menerima mereka untuk sementara sampai memperoleh pekerjaan, karena keluarga paling tidak dapat menyediakan tempat menginap dan lebih-lebih lagi jika dapat memperoleh makan.
Demikian pula Soon (1977) memperlihatkan bahwa income/wage rate merupakan faktor utama dalam menarik migran untuk datang (penyebab orang tertarik ke Malaysia untuk memperoleh Ringgit dan ke Saudi Arabia memperoleh Real). Adanya faktor-faktor sebagai penarik ataupun pendorong di atas merupakan perkembangan dari ketujuh teori migrasi (The Law of Migration) yang dikembangkan oleh E.G Ravenstein pada tahun 1885 (Munir, 2000:122).
Dari faktor-faktor keputusan migran dalam melakukan migrasi seperti yang disebutkan Lee (1966), ternyata faktor ekonomi merupakan motif yang paling sering dijadikan sebagai alasan utama untuk bermigrasi (Todaro, 1969). Sehingga daerah yang kaya sumber alam tentunya akan lebih mudah menciptakan pertumbuhan ekonominya, meskipun mungkin kurang stabil. Daerah yang kaya sumber daya manusia akan menjadi lokasi yang menarik bagi manufaktur atau jasa, terutama yang menggunakan teknologi tinggi. Seperti lazimnya dalam ilmu ekonomi regional, tenaga kerja akan cenderung melakukan migrasi dari daerah dengan kesempatan kerja kecil dan upah rendah ke daerah dengan kesempatan kerja besar dan upah tinggi (Brodjonegoro, 2000).
Dari kacamata ekonomi, berbagai teori telah dikembangkan dalam menganalisis fenomena migrasi. Teori yang berorientasikan pada ekonomi neoklasik (neoclassical economics) misalnya, baik secara makro maupun mikro, lebih menitik beratkan pada perbedaan upah dan kondisi kerja antardaerah atau antarnegara, serta biaya dalam keputusan seseorang untuk melakukan migrasi. Menurut aliran ini, perpindahan penduduk merupakan keputusan pribadi yang didasarkan atas keinginan untuk mendapatkan kesejahteraan yang maksimum. Dalam teori ini, mobilitas penduduk dipandang sebagai mobilitas geografis tenaga kerja, yang merupakan respon terhadap ketidakseimbangan distribusi keruangan lahan, tenaga kerja, kapital dan sumber daya alam. Ketidakseimbangan lokasi geografis faktor produksi tersebut pada gilirannya mempengaruhi arah dan volume migrasi.
Namun pada sisi lain, aliran ekonomi baru migrasi (new economics of migration) beranggapan bahwa perpindahan penduduk terjadi bukan saja berkaitan dengan pasar kerja, namun juga karena adanya faktor-faktor lain. Keputusan untuk melakukan migrasi tidak semata-mata merupakan keputusan individu, namun terkait dengan lingkungan sekitar, utamanya lingkungan keluarga dan kondisi daerah yang ditinggali maupun yang dituju. Lingkungan sekitar ini termasuk juga kondisi politik, agama, dan bencana alam.
Dari kedua teori di atas jelas, bahwa migrasi disebabkan oleh faktor pendorong (push factor) suatu wilayah dan faktor penarik (pull factor) wilayah lainnya. Faktor pendorong suatu wilayah menyebabkan orang pindah ke tempat lain, misalnya karena di daerah itu tidak tersedia sumber daya yang memadai untuk memberikan jaminan kehidupan bagi penduduknya. Perpindahan penduduk ini juga terkait dengan persoalan kemiskinan dan pengangguran yang terjadi di suatu wilayah. Sedangkan faktor penarik suatu wilayah adalah jika wilayah tersebut mampu atau dianggap mampu menyediakan fasilitas dan sumber-sumber penghidupan bagi penduduk, baik penduduk di wilayah itu sendiri maupun penduduk di sekitarnya dan daerah-daerah lain. Penduduk wilayah sekitarnya dan daerah-daerah lain yang merasa tertarik dengan daerah tersebut kemudian berpindah dalam rangka meningkatkan taraf hidup.





















BAB III
PEMBAHASAN

3.1.  Sejarah Migrasi
Salah satu jenis migrasi adalah transmigrasi (perpindahan penduduk dari yang tempat yang padat penduduknya ke tempat yang jarang penduduknya). Jabbar dan Rofiq Ahmad (1993) menguraikan tentang transmigrasi sejak dari zaman kolonisasi sampai dengan transmigrasi yang berorientasi ekonomi. Pada zaman penjajahan Belanda, daerah pengalihan penduduk dari Jawa ialah di Pulau Sumatera. Tempat yang pertama kali menjadi daerah tujuan transmigrasi yaitu di sekitar Metro, Lampung. Setelah mengalami perkembangan, saat ini terus diseimbangkan kepadatan penduduk Indonesia di setiap pulau. Oleh karena itu, disamping Pulau Sumatera, Pulau lain seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Papua juga diprogramkan untuk menerima transmigran dari Pulau Jawa. Di luar program transmigrasi, kepadatan penduduk yang memusat di Pulau Jawa dikarenakan oleh migrasi penduduk yang tidak terkendali dan menuju ke Pulau Jawa. Dapat dimaklumi mengapa Pulau Jawa sebagai pulau yang menjadi daerah tujuan utama migran dari pulau-pulau yang lain karena pulau ini merupakan tempat pusat perekonomian, pusat pemerintahan, pusat pendidikan dan pusat kegiatan-kegiatan sosial ekonomi lainnya, sehingga penduduk dari pulau-pulau di luar Jawa ingin menetap (tinggal) di Pulau Jawa.
Mencermati berbagai kajian dan penelitian tentang migrasi, termasuk migrasi internasional, salah satu kesan yang menonjol adalah kentalnya fokus pada event yang teramati dan terukur. Maksudnya, kajian migrasi terlalu banyak mengaitkan variabel yang teramati (observable), khususnya variabel-variabel sosial ekonomi, untuk menjelaskan berbagai hal yang terkait dengan migrasi, yang memang diyakini memiliki dimensi yang kompleks. Akhir-akhir ini ada kekhawatiran bahwa kecenderungan ini akan menyebabkan pendangkalan sekaligus penciutan kajian migrasi meskipun diupayakan untuk melebarkan konteksnya. Dalam kajian migrasi internasional, misalnya permasalahan sering hanya terfokus pada kaitan antara besarnya ketersediaan tenaga kerja dan peluang kerja di luar negeri. Atau, besarnya daya dorong dan daya tarik sebagai penyebab arus migrasi merupakan penjelas paling tepat dalam menganalisis proses migrasi. Dengan kata lain, orang pergi migrasi ke luar negeri terbatas sebagai respons terhadap stimulus yang ada.
Pandangan ini tidak keliru, tetapi dapat menjebaknya ke dalam cognitive drones. Mengapa? Di sini manusia tidak dipandang sebagai makhluk yang memiliki latar belakang sosial dan budaya dan tidak hidup dalam konteks waktu dan tempat tertentu. Migran kurang diperhatikan sebagai individu dan anggota kelompok sosial. Akibatnya, migran sering harus menanggung beban dan menjadi korban atas proses itu, meskipun mereka juga menikmati hasilnya.
Gejala di atas juga diyakini menyebabkan terpisahnya penelitian migrasi dengan perkembangan teori-teori sosial, padahal migrasi sebagai salah satu gejala sosial yang sangat tua tidak mungkin terlepas dari perkembangan sosial, politik, dan ekonomi pada umumnya (lihat Robinson & Carey, 2000). Permasalahan ini bukan hanya permasalahan konseptual, tetapi juga permasalahan pendekatan. Barangkali kajian-kajian yang ada terlalu banyak mengandalkan pada, seperti yang dikemukakan Giddens (dalam Goss & Linquist, 1995), diskursif yaitu segala sesuatu yang dikatakan, yaitu data-data yang dikumpulkan dari para migran seperti pada penelitian survei. Sebaliknya, pendekatan praktikal, tepatnya disebut Giddens sebagai kesadaran praktikal, yaitu sesuatu yang tidak dapat dikatakan atau diartikulasikan secara verbal, tetapi menjadi bagian penting dari pemikiran orang yang bersangkutan, kurang diperhatikan. Hal ini terkait dengan pendekatan dan metode yang digunakan dalam penelitian migrasi. Sejauh ini perspektif yang digunakan untuk mengkaji migrasi cenderung berangkat dari salah satu atau kedua perspektif besar yang sudah mapan, yaitu strukturalis dan fungsionalis. Giddens mengusulkan alternatif lain yang disebutnya sebagai perspektif strukturasionis. Dalam perspektif ini duality of structure menjadi bagian penting, agen dan struktur berinteraksi timbal balik, yang struktur itu direproduksi oleh agen dan agen dipengaruhi oleh norma dan harapan masyarakat.
3.2.  Pola, Arus dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Migrasi di Indonesia
3.2.1. Pola dan Arus Migrasi di Indonesia
Berikut adalah gambaran pola dan arus migrasi di Indonesia dari tahun 2000 dengan menggunakan data-data migrasi yang digunakan adalah data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005 dan Sensus Penduduk (SP) 2000. Data pola dan arus migrasi ini dikutip dari hasil penelitian Beni Darmawan (2007) dan Emalisa (2003). Ada dua pola migrasi yang akan dibahas yaitu pola migrasi semasa hidup antarpulau dan pola migrasi semasa hidup antarpropinsi.
·      Migrasi Semasa Hidup AntarPulau
Berdasar pada data hasil penelitian Beny Darmawan (2007) dan Emalisa (2003), bahwa untuk migrasi keluar, selama 24 tahun terakhir secara absolut Pulau Jawa adalah pulau yang paling banyak mengeluarkan migran, yaitu: pada tahun 1971 sebanyak 1.935 ribu, tahun 1980 sebanyak 3.584,9 ribu, dan tahun 1990 sebanyak 3.053,2 ribu, yang kemudian pada tahun 1995 menjadi 5.5330,2 ribu. Dari sebanyak migran keluar tersebut sampai tahun 1980 sebagian besar menuju Pulau Sumatera, yaitu sebesar 89,66% padatahun 1971 dan 81,06% pada tahun 1980. Namun demikian mulai tahun 1990 terjadi penurunan arus migran dari Pulau Jawa ke Sumatera yaitu menjadi hanya sebesar 69,73%, dan tahun 1995 persentasenya menurun lagi menjadi 68,28%. Kondisi ini memperlihatkan bahwa mulai dekade 1980-1990 penyebaran penduduk dari Pulau Jawa sudah mulai menyebar ke pulau-pulau lain, tidak hanya terpusat di Pulau Sumatera saja.
Berikutnya Pulau Sumatera yang menduduki urutan kedua dalam besarnya migrasi keluar, pada tahun 1971 mempunyai migran keluar sebesar 369 ribu, kemudian pada tahun 1980 naik menjadi 786,4 ribu migran keluar dan naik lagi menjadi 1.175,7 ribu pada tahun 1990. Selanjutnya pada tahun 1995 naik lagi menjadi sekitar 1.534 ribu.
Sebagian besar migran keluar dari Pulau Sumatera menuju Pulau Jawa yaitu 94,31% pada tahun 1971, 91,35% pada tahun 1980, 90,94% pada tahun 1990 dan 1991, 94% pada tahun 1995. Dari data tersebut terlihat arus migrasi dari Pulau Sumatera ke Pulau Jawa boleh dikatakan hampir tidak ada perubahan. Kecenderungan orang Sumatera pergi (pindah) menuju Pulau Jawa masih tetap merupakan prioritas utama.
Seperti halnya Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan dan Kepulauan lain juga merupakan daerah yang migran keluarnya kebanyakan menuju Pulau Jawa. Arus yang terjadi dari Pulau Kalimantan dan Kepulauan lain menuju Pulau Jawa cenderung tidak berubah sejak tahun 1971 sampai tahun 1995 atau penurunan persentase yang terjadi relatif kecil. Berbeda dengan Pulau Sulawesi, arus migran yang keluar dari pulau ini hampir tersebar secara merata ke pulau-pulau lain dan kecenderungan ini berjalan sejak tahun 1971 yang berlangsung secara terus sampai tahun 1995.
Menurut Emalisa (2003), dapat dimaklumi mengapa Pulau Jawa sebagai pulau yang menjadi daerah tujuan utama migran dari pulau-pulau yang lain karena pulau ini merupakan tempat pusat perekonomian, pusat pemerintahan, pusat pendidikan dan pusat kegiatan-kegiatan sosial ekonomi lainnya, sehingga penduduk dari pulau-pulau di luar Jawa ingin menetap (tinggal) di Pulau Jawa.
Emalisa (2003) juga menggambarkan data penelitian migran yang masuk seumur hidup menurut pulau tempat lahir dan tempat tinggal sekarang. Untuk migrasi masuk, Pulau Sumatera adalah pulau yang paling banyak menerima migran baik pada tahun 1970, 1980, 1990 maupun pada tahun 1995. Dari jumlah tersebut lebih dari 90% sejak tahun 1971 sampai dengan tahun 1995 adalah migran yang berasal dari Pulau Jawa. Demikian juga Pulau Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan lain, migran yang masuk ke pulau-pulau ini sebagian besar berasal dari Pulau Jawa. Sehingga dapat dikatakan bahwa Pulau Jawa yang memang mempunyai penduduk terbesar di Indonesia merupakan pulau pengirim migran terbesar untuk setiap pulau-pulau yang ada di Indonesia. Sedang migrasi masuk ke Pulau Jawa sendiri dari tahun 1971 sampai dengan tahun 1995 kebanyakan (sekitar 60%) berasal dari Pulau Sumatera. Hal ini dapat dimaklumi karena Pulau Sumatera secara geografis berdekatan dengan Pulau Jawa di banding dengah pulau-pulau lainnya, dan juga karena sistem transportasi yang menghubungkan kedua pulau ini lebih baik dan lancar baik dari segi banyaknya frekuensi maupun jenis angkutan dibandingkan dengan sistem transportasi yang menghubungkan Pulau Jawa dengan pulau-pulau yang lain, selain Pulau Sumatera.
·      Migrasi Semasa Hidup AntarPropinsi
Pola dan arus migrasi seumur hidup per propinsi di Indonesia sangat bervariasi dan besarnya tidak selalu sama antara satu propinsi dengan propinsi lain. Secara umum propinsi-propinsi di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara merupakan propinsi-propinsi pengirim migran, baik pada tabun 1971 1980, 1990 maupun pada tahun 1995 kecuali DKI Jakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat dan Timor Timur. DKI Jakarta sejak tahun 1971 hingga pada tahun 1995 merupakan propinsi penerima migran. Sedangkan Jawa Barat pada tahun 1971 dan 1980 merupakan propinsi pengirim migran, tetapi pada tahun 1990 dan 1995 menjadi propinsi penerima migran.
Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian sejak tahun 1971 hingga tahun 1990 DKI Jakarta adalah propinsi yang paling banyak didatangi oleh migran, dengan jumlahnya yang semakin membesar dari tahun ke tahun. Pada tahun 1971 DKI Jakarta menerima sekitar 1,8 juta migran, tahun 1980 menerima sekitar 2,6 juta migran, tahun 1990 menerima 3,1 juta migran dan pada tahun 1995 menerima 3,4 juta migran. Jika dilihat asal migran yang ke DKI Jakarta, yang paling banyak adalah migran yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pada tahun 1990 dan 1995. Dan sisanya adalah berasal dari 24 propinsi lainnya yang persentasenya relatif kecil. Propinsi kedua terbesar yang didatangi migran pada tahun 1990 adalah Jawa Barat, dengan jumlah migran sebesar 2,4 juta orang. Selanjutnya hasil SUPAS95 menunjukkan bahwa dengan jumlah migran masuk sebesar 3,6 juta orang. Propinsi Jawa Barat telah menggeser kedudukan DKI Jakarta sebagai penerima migran terbesar. Migran yang masuk ke Jawa Barat ini sebagian besar berasal dari propinsi tetangganya yaitu Jawa Tengah dan DKI Jakarta dengan persentase masing-masing sebesar 30,25% dan 35,09% pada tahun 1995.
Pada tahun 1971 dan 1980, Lampung merupakan merupakan propinsi kedua terbesar yang menjadi daerah tujuan migran dengan jumlah migran tidak kurang dari 1 juta orang pada tahun 1971 dan 1,8 juta migran pada tahun 1980 masuk ke propinsi ini. Tetapi pada tahun 1990 dan 1995, Lampung tergeser oleh Jawa Barat menjadi propinsi ketiga terbesar yang didatangi oleh migran.
Walaupun demikian dalam jumlah absolut sebagai penerima migran, Lampung tetap merupakan propinsi penerima migran terbesar di luar Pulau Jawa sejak tahun 1971. Hal ini dapat mengerti karena Lampung rnerupakan daerah tujuan transmigrasi terbesar di Indonesia pada saat itu. Pada tahun 1971 Lampung menerima tidak kurang dari 1 juta migran, yang kemudian meningkat menjadi 1,7 juta orang pada tahun 1980 dan 1990, serta hampir 2 juta orang pada tahun 1995. Ada tiga propinsi yang merupakan propinsi asal sebagian besar migran masuk ke Lampung, yaitu Jawa Tengah (33,50%), Jawa Timur (28,20%) dan Jawa Barat (13,35%).
3.2.2. Pengaruh Urbanisasi terhadap Pola dan Arus Migrasi di Indonesia
Berdasarkan data migrasi seumur hidup antarpropinsi, sejak tahun 1971 hingga 1990, Jakarta merupakan tujuan propinsi penerima migran paling besar (nomor satu) di Indonesia. Namun kemudian pada tahun 1995 posisi ini digantikan oleh propinsi Jawa Barat, yang merupakan propinsi terdekat dari wilayah DKI Jakarta. Hal ini tidaklah terlepas dari adanya pengaruh urbanisasi yang terjadi di kota Jakarta yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan daerah-daerah yang ada di sekitarnya, termasuk kota-kota yang terdapat di propinsi Jawa Barat, seperti yang dikenal dengan istilah Botabek (Bogor, Tangerang, Bekasi).
Dengan adanya urbanisasi di wilayah Jakarta ini, banyak penduduk yang bekerja di Jakarta, namun bertempat tinggal di wilayah di sekitar Jakarta (Botabek), dengan berbagai sebab, karena ingin mendapatkan tempat tinggal yang lebih luas, lebih baik, dan lebih sedikit polusi untuk keluarga mereka. Disamping itu banyak Industri didirikan di daerah pinggiran kota Jakarta (Botabek), banyak menarik tenaga kerja secara khusus dan penduduk secara umum untuk bermigrasi ke daerah Botabek (Jawa Barat) ini.
Menurut Firman (1995), kecenderungan berkembangnya dengan pesat kegiatan ekonomi di kota-kota besar seperti di DKI Jakarta adalah tidak lain karena ada "ekonomi urbanisasi" (urbanisation economies) yang terdapat di kota-kota besar tersebut, yang secara sederhana didefinisikan sebagai keuntungan-keuntungan ekonomi dari sebuah kota, terutama kota besar, yang menarik pendirian usaha dalam kota. Sebagai gambaran sebagaimana kota-kota besar dapat bersaing dengan berbagai macam aktivitas ekonomi, yaitu adanya kenyataan bahwa hingga Juli 1995, kira-kira setengah Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), dari koordinasi penanaman modal (BKPM) terkonsentrasi di Jabotabek atau Jakarta.
3.2.3. Pengaruh Program Transmigrasi oleh Pemerintah
Data migrasi seumur hidup antar pulau maupun antarpropinsi, kita dapat melihat bahwa pulau yang paling besar menerima migran adalah pulau Sumatera sejak tahun 1971 hingga sekarang, sedangkan propinsi terbesar kedua setelah DKI Jakarta menerima migran adalah propinsi Lampung, yaitu sejak tahun 1971 hingga 1990, namun kemudian posisi Lampung tersebut digantikan oleh propinsi Jawa Barat. Besamya migran yang masuk ke pulau Sumatera, khususnya ke propinsi Lampung ini tidak terlepas dari adanya program pemerintah yang telah menjalankan program transmigrasi di mana daerah Sumatera, yang mencakup Aceh, Lampung, Sumatera Utara dan lainnya menjadi daerah penerima transmigrasi.
Jika kita melihat sejarah dari program transmigrasi tersebut, kita ketahui bahwa program transmigrasi ini telah dimulai pertama sekali oleh pemerintah Belanda, yaitu pada tahun 1905 dengan mengirim 155 keluarga dari Jawa ke daerah propinsi Lampung, yang waktu itu dikenal dengan istilah kolonisasi. Dan pada waktu pemerintahan Jepang di Indonesia usaha transmigrasi ini pun tetap dijalankan. Kemudian pada tahun 1950 pemerintah Indonesia melakukan usaha transmigrasi pertama sekali dengan memindahkan 77 jiwa dari Jawa ke Lampung (Munir, 2000). Dan hingga tahun 1990 propinsi Lampung masih menjadi tujuan transmigrasi. Dan ini tentunya sangat besar pengaruhnya terhadap besarnya para migran yang masuk ke propinsi Lampung dan kepulau Sumatera pada umumnya, disamping adanya pengaruh dari dekatnya posisi pulau Jawa dengan Sumatera dan dengan adanya prasarana transportasi yang baik dan lancar hal ini juga mempengaruhi besarnya arus migrasi dari pulau Jawa ke pulau Sumatera.
3.3.  Perilaku Migran pada Kajian Migrasi di Indonesia
3.3.1. Migran dan Fenomena Remitan (remittance)
Tenaga kerja akan pindah dari tempat dengan kapital langka dan tenaga kerja banyak (karenanya upah rendah) ke tempat dengan kapital banyak dan tenaga kerja langka (karenanya upah tinggi). Oleh karenanya Spengler dan Myers (1977) dalam Wood (1982) mengemukakan migrasi dapat dipandang sebagai suatu proses yang membantu pemerataan pembangunan yang bekerja dengan cara memperbaiki ketidakseimbangan hasil faktor produksi antardaerah.
Migrasi yang terjadi di negara-negara sedang berkembang dipandang memiliki efek yang sama. Namun, terdapat fenomena khusus dari migrasi di negara-negara ini, yang diperkirakan lebih mempercepat pemerataan pembangunan. Fenomena tersebut berbentuk transfer pendapatan ke daerah asal (baik berupa uang ataupun barang), yang dalam teori migrasi dikenal dengan istilah remitan (remittance). Menurut Connel (1980), di negara-negara sedang berkembang terdapat hubungan yang sangat erat antara migran dengan daerah asalnya, dan hal tersebutlah yang memunculkan fenomena remitan.
Remitan dalam konteks migrasi di negara-negara sedang berkembang merupakan bentuk upaya migran dalam menjaga kelangsungan ikatan sosial ekonomi dengan daerah asal, meskipun secara geografis mereka terpisah jauh. Selain itu, migran mengirim remitan karena secara moral maupun sosial mereka memiliki tanggung jawab terhadap keluarga yang ditinggalkan (Curson,1983). Kewajiban dan tanggung jawab sebagai seorang migran, sudah ditanamkan sejak masih kanak-kanak. Masyarakat akan menghargai migran yang secara rutin mengirim remitan ke daerah asal, dan sebaliknya akan merendahkan migran yang tidak bisa memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya.
Dalam perspektif yang lebih luas, remitan dari migran dipandang sebagai suatu instrumen dalam memperbaiki keseimbangan pembayaran, dan merangsang tabungan dan investasi di daerah asal. Oleh karenanya dapat dikemukakan bahwa remitan menjadi komponen penting dalam mengkaitkan mobilitas pekerja dengan proses pembangunan di daerah asal.
Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan di daerah Jatinom Jawa Tengah (Effendi, 1993). Sejak pertengahan tahun 1980-an, seiring dengan meningkatnya mobilitas pekerja, terjadi perubahan pola makanan keluarga migran di daerah asal menuju pada pola makanan dengan gizi sehat. Perubahan ini tidak dapat dilepaskan dari peningkatan daya beli keluarga migran di daerah asal, sebagai akibat adanya remitan.
Peningkatan daya beli tidak hanya berpengaruh pada pola makanan, namun juga berpengaruh pada kemampuan membeli barang-barang konsumsi rumah tangga lainnya, seperti pakaian, sepatu, alat-alat dapur, radio, televisi dan sepeda motor. Permintaan akan barang-barang tersebut telah memunculkan peluang berusaha di sektor perdagangan, dan pada tahap selanjutnya berefek ganda pada peluang berusaha di sektor lainnya.
Namun di sisi lain, remitan ternyata tidak hanya mempengaruhi pola konsumsi keluarga migran di daerah asal. Dalam kerangka pemupukan remitan, migran berusaha melakukan berbagai kompromi untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya, dan mengadopsi pola konsumsi tersendiri di daerah tujuan. Para migran akan melakukan "pengorbanan" dalam hal makanan, pakaian, dan perumahan supaya bisa menabung dan akhirnya bisa mengirim remitan ke daerah asal. Secara sederhana para migran akan meminimalkan pengeluaran untuk memaksimalkan pendapatan. Migran yang berpendapatan rendah dan tenaga kerja tidak terampil, akan mencari rumah yang paling murah dan biasanya merupakan pemukiman miskin dipusat-pusat kota.
Bijlmer (1986) mengemukakan bahwa untuk memperbesar remitan, ada kecenderungan migran mengadopsi sistem pondok, yakni tinggal secara bersama-sama dalam satu rumah sewa atau bedeng di daerah tujuan. Sistem pondok memungkinkan para migran untuk menekan biaya hidup, terutama biaya makan dan penginapan selama bekerja di kota.
Hal yang sama juga ditemukan oleh Mantra (1994) dalam penelitiannya di berbagai daerah di Indonesia. Buruh-buruh bangunan yang berasal dari Jawa Timur yang bekerja di proyek pariwisata Nusa Dua Bali, tinggal di bedeng-bedeng yang kumuh untuk mengurangi pengeluaran akomodasi. di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim ditemukan pada tukang becak di Yogyakarta yang berasal dari Klaten. Pada waktu malam hari tidur di becaknya untuk menghindari pengeluaran menyewa pondokan.
Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa besarnya remitan yang dikirimkan migran ke daerah asal relatif bervariasi. Penelitian yang dilakukan Rose dkk (1969) dalam Curson (1983) terhadap migran di Birmingham menemukan bahwa remitan migran India sebesar 6,3 persen dari penghasilannya sedangkan migran Pakistan mencapai 12,1%. Bahkan dalam penelitian yang dilakukan Jellinek (1978 ) dalam Effendi (1993) menemukan bahwa remitan yang dikirimkan para migran penjual es krim di Jakarta mencapai 50 persen dari penghasilan yang diperolehnya.
Besar kecilnya remitan ditentukan oleh berbagai karakteristik migrasi maupun migran itu sendiri. Karakteristik tersebut mencakup sifat mobilitas/migrasi, lamanya di daerah tujuan, tingkat pendidikan migran, penghasilan migran serta sifat hubungan migran dengan keluarga yang ditinggalkan di daerah asal. Berkaitan dengan sifat mobilitas/migrasi dari pekerja, terdapat kecenderungan pada mobilitas pekerja yang bersifat permanen, remitan lebih kecil dibandingkan dengan yang bersifat sementara (sirkuler) (Connel, 1980). Hugo (1978) dalam penelitian di 14 desa di Jawa Barat menemukan bahwa remitan yang dikirimkan oleh migran sirkuler merupakan 47,7 persen dari pendapatan rumah tangga di daerah asal, sedangkan pada migran permanen hanya 8,00%.
Sejalan dengan hal tersebut, besarnya remitan juga dipengaruhi oleh lamanya migran menetap (bermigrasi) di daerah tujuan. Lucas dkk (1985) mengemukakan bahwa semakin lama migran menetap di daerah tujuan maka akan semakin kecil remitan yang dikirimkan ke daerah asal. Adanya arah pengaruh yang negatif ini selain disebabkan oleh semakin berkurangnya beban tanggungan migran di daerah asal (misalnya anak-anak migran di daerah asal sudah mampu bekerja sendiri), juga disebabkan oleh semakin berkurangnya ikatan sosial dengan masyarakat di daerah asal. Migran yang telah menetap lama umumnya mulai mampu menjalin hubungan kekerabatan baru dengan masyarakat/lingkungan di daerah tujuannya.
Tingkat pendidikan migran lebih cenderung memiliki pengaruh yang positif terhadap remitan. Rempel dan Lobdell (1978) mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan migran, maka akan semakin besar remitan yang dikirimkan ke daerah asal. Hal ini pada dasarnya berkaitan dengan fungsi remitan sebagai pembayaran kembali (repayment) investasi pendidikan yang telah ditanamkan keluarga kepada individu migran. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan migran menunjukkan besar kecilnya investasi pendidikan yang ditanamkan keluarga, dan pada tahap selanjutnya berdampak pada besar kecilnya "repayment" yang diwujudkan dalam remitan.
Pengaruh positif juga ditemukan antara penghasilan migran dan remitan (Wiyono,1994). Remitan pada dasarnya adalah bagian dari penghasilan migran yang disisihkan untuk dikirimkan ke daerah asal. Dengan demikian, secara logis dapat dikemukakan semakin besar penghasilan migran maka akan semakin besar remitan yang dikirimkan ke daerah asal. Besarnya remitan juga tergantung pada hubungan migran dengan keluarga penerima remitan di daerah asal. Keluarga di daerah asal dapat dibagi atas dua bagian besar, yaitu keluarga inti (batih) yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak, serta keluarga di luar keluarga inti. Dalam konteks ini, Mantra (1994) mengemukakan bahwa remitan akan lebih besar jika keluarga penerima remitan di daerah asal adalah keluarga inti. Sebaliknya, remitan akan lebih kecil jika keluarga penerima remitan di daerah asal bukan keluarga inti.
Tujuan pengiriman remitan akan menentukan dampak remitan terhadap pembangunan daerah asal. Berbagai pemikiran dan hasil penelitian telah menemukan keberagaman tujuan remitan ini, namun demikian dapat dikelompokkan atas tujuan-tujuan sebagai berikut:
·      Kebutuhan hidup sehari-hari keluarga
Sejumlah besar remitan yang dikirim oleh migran berfungsi untuk menyokong kerabat/keluarga migran yang ada di daerah asal. Migran mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mengirimkan uang/barang untuk menyokong biaya hidup sehari-hari dari kerabat dan keluarganya, terutama untuk anak-anak dan orang tua. Hal ini ditemukan Caldwell (1969) dalam Mantra (1994) pada penelitian di Ghana, Afrika. Di daerah ini, 73 persen dari total remitan yang dikirimkan oleh migran ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dari keluarga di daerah asal.
·      Peringatan hari-hari besar yang berhubungan dengan siklus hidup manusia
Di samping mempunyai tanggung jawab terhadap kebutuhan hidup sehari-hari keluarga dan kerabatnya, seorang migran juga berusaha untuk dapat pulang ke daerah asal pada saat diadakan peringatan hari-hari besar yang berhubungan dengan siklus hidup manusia, misalnya kelahiran, perkawinan, dan kematian. Menurut Curson (1983) pada saat itulah, jumlah remitan yang dikirim atau ditinggalkan lebih besar dari pada hari-hari biasa.
·      Investasi
Bentuk investasi adalah perbaikan dan pembangunan perumahan, membeli tanah, mendirikan industri kecil, dan lain-lainnya. Kegiatan ini tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga sebagai sarana sosial dan budaya dalam menjaga kelangsungan hidup di daerah asal, tetapi juga bersifat psikologis, karena erat hubungannya dengan prestise seseorang.
Effendi (1993) dalam penelitiannya di tiga desa Jatinom, Klaten menemukan bahwa remitan telah digunakan untuk modal usaha pada usaha-usaha skala kecil seperti pertanian jeruk, peternakan ayam, perdangan dan bengkel sepeda.
·      Jaminan hari tua
Migran mempunyai keinginan, jika mereka mempunyai cukup uang atau sudah pensiun, mereka akan kembali ke daerah asal. Hal ini erat kaitannya dengan fungsi investasi, mereka akan membangun rumah atau membeli tanah di daerah asal sebagai simbol kesejahteraan, prestisius, dan kesuksesan di daerah rantau. Lee (1992) mengemukakan bahwa berbagai pengalaman baru yang diperoleh di tempat tujuan, apakah itu keterampilan khusus atau kekayaan, sering dapat menyebabkan orang kembali ke tempat asal dengan posisi yang lebih menguntungkan. Selain itu, tidak semua yang bermigrasi bermaksud menetap selama-lamanya di tempat tujuan.
3.3.2. Adaptasi Migran (Transmigran) Dalam Migrasi Lokal (Transmigrasi)
Saat ini program transmigrasi sudah banyak dilupakan publik. Padahal, tidak sedikit dari anggota keluarga, tetangga, atau kenalan kita yang menjadi transmigran. Transmigrasi telah dimulai sejak zaman kolonial, lewat regulasi Politik Etis yang dicetuskan Van Deventer, yakni emigrasi atau transmigrasi, edukasi, dan irigasi. Kontingen transmigran pertama merantau ke Gedong Tataan Lampung pada tahun 1905.
Sejak itu, transmigran secara bergelombang merantau ke Sumatera, kemudian Kalimantan, dan belakangan dikembangkan di Sulawesi, termasuk Maluku hingga Papua. Di Sumatera konsentrasi terbesar transmigran bermukim di Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel), khususnya di Lampung serta di Jambi. Kontingen transmigran biasanya berangkat per kabupaten (dahulu per karesidenan) sejumlah antara 30 hingga 40 kepala keluarga (KK).
Mereka menempati Satuan Permukiman yang disebut SP, ada juga yang disebut unit-unit. Secara administratif, transmigran dibagi dalam SP I, II atau unit I, II, dan seterusnya. Namun, dalam perkembangannya transmigran asal Jawa lebih suka mengidentifikasi SP dan Unit ini dengan nama karesidenan atau kabupaten asal, atau paling tidak menggunakan nama-nama berbau Jawa. Banyak dari SP atau unit ini yang kemudian berkembang menjadi desa atau kecamatan. Sehingga, kita mengenal nama-nama Kecamatan atau Desa Pringsewu, Kalirejo, Sidodadi, atau Sidomulyo di daerah transmigran.
Transmigran di tanah perantauan telah berkembang dan memiliki keturunan hingga beberapa generasi. Bila transmigran berangkat pada kontingen pertama tahun 1905 hingga 1920-an, saat ini mereka telah berkembang hingga keturunan kelima atau keenam. Bila mereka menjadi transmigran setelah zaman republik antara tahun 1950 hingga 1960-an jumlah ini yang paling banyak, mereka telah memiliki tiga hingga empat generasi. Periode terakhir, tahun 1970-an berkembang hingga keturunan kedua atau ketiga.
Setelah tahun 1980-an, transmigran asal Jawa mulai dikurangi untuk selanjutnya dihentikan karena pemerintah setempat mulai banyak mengenalkan program transmigrasi lokal. Transmigran asal Jawa pada tahun-tahun setelah 1980-an banyak terkonsentrasi di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Kebanyakan transmigran asal Jawa masih memegang teguh adat dan tradisi yang dibawa dari Jawa, di samping berbaur dengan budaya dan penduduk lokal. Selamatan, nyadran, ngelmu petungan, tata krama, prosesi pernikahan, hingga bahasa ibu masih digunakan oleh transmigran.
Generasi pertama transmigran masih mengikuti adat istiadat ini seperti aslinya yang dilakukan leluhurnya di Jawa. Namun, bagi generasi kedua dan ketiga tradisi ini mulai diikuti secara moderat. Maksudnya, tata cara dilaksanakan, namun tidak lengkap atau dimodifikasi menjadi lebih sederhana. Meskipun demikian, warna Jawani-nya masih terasa. Namun, tidak sedikit pula generasi kedua, ketiga, maupun keempat dan kelima yang lebih memilih menggunakan tata cara nasional sama sekali. Tata cara nasional ini dapat disebut sebagai tata cara yang sudah diakui menasional dan banyak dilakukan oleh banyak penduduk Indonesia lain, meski banyak yang diserap dari kebudayaan Jawa.
Tradisi transmigran asal Jawa yang masih dipegang teguh di tanah perantauan semakin berkurang jumlahnya dan semakin sederhana bentuknya. Hal ini terjadi karena generasi pertama transmigran sudah banyak yang wafat.
Generasi selanjutnya semakin melonggarkan tradisi yang ada karena di samping referensi "yang asli" sudah wafat maupun otoritas kebudayaan semisal keraton seperti halnya di Jawa tidak ada, generasi transmigran ini banyak bersinggungan dengan kebudayaan lokal maupun kebudayaan pendatang lain hingga kebudayaan nasional. Akulturasi ini melahirkan kebudayaan yang khas di daerah-daerah transmigran.
Tidak hanya di daerah transmigran saja yang orisinalitas kebudayaannya mulai meluntur. Di Jawa sendiri pun sebenarnya laju kematian bahasa ibu terus bertambah setiap tahun hingga tidak banyak penduduk Jawa usia muda yang nJawani. Namun, tren lunturnya orisinalitas kebudayaan yang menurun pada keturunan transmigran khas dan berbeda konteksnya dengan melunturnya kebudayaan Jawa pada generasi muda di Jawa. Keturunan transmigran di perantauan ini kemudian menjadi individu kosmopolitan.
Menariknya, penduduk lokal masih menganggap keturunan ketiga atau keempat, bahkan keturunan yang baru lahir dari transmigran asal Jawa sebagai "orang Jawa". Padahal, banyak keturunan transmigran ini yang sudah tidak mengikuti adat istiadat Jawa secara utuh, berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, dan tidak mengerti sama sekali bahasa Jawa, termasuk bahasa ngoko, hingga tidak memiliki keluarga lagi di Jawa. Hubungan dengan leluhur di Jawa yang kepaten obor ini bisa disebabkan karena mereka di tanah perantauan kurang berhasil dan jumlah ini sangat banyak sehingga tidak memiliki sumber daya lebih untuk menjalin silaturahmi semacam mudik. Dapat juga disebabkan karena keluarga di Jawa sudah tidak terlacak, sedangkan generasi pertama sudah wafat.
Keturunan transmigran yang masih dianggap sebagai "orang Jawa" ini berada dalam situasi kepribadian terbelah (split personality). Mereka oleh penduduk local dianggap sebagai "orang Jawa", namun di Jawa, bahkan oleh keluarga leluhur mereka dianggap sebagai "orang Lampung" atau "orang Sumatera". Mereka yang dianggap sebagai "orang Jawa" ini kurang nJawani sekaligus tidak mengerti banyak kebudayaan lokal. Sehingga, tepat bila keturunan transmigran ini disebut sebagai individu kosmopolitan: bercita rasa nasional, tidak memiliki akar kebudayaan (bolehlah disebut apatride kebudayaan; meminjam istilah penduduk yang tidak memiliki kewarganegaraan karena tidak memenuhi asas kelahiran (ius soli) dan asas keturunan (ius sanguinis)) sehingga menjadikan mereka "anak-anak kebudayaan Indonesia.
3.4.  Pandangan Mengenai Migrasi Para TKI di Mata Hukum
Proses penetapan suatu tindakan kriminal (kriminalisasi) tidak begitu saja dilakukan, akan tetapi melewati suatu proses berfikir (berijtihad) yang sistematis dan terarah. Oleh karena itu, tindakan kriminal yang diatur didalam UU No. 39 Tahun 2004 bab ketentuan pidana merupakan hasil yang cukup maksimal guna memenuhi kebutuhan ketentuan hukum yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Yang kemudian proses kriminalisasi diakhiri dengan terbentuknya undang-undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana. Selain itu juga, kriminalisasi merupakan proses penetapan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana.
Pengertian kebijakan sendiri memiliki tiga arti yang cukup luas, diantaranya kebijakan dalam arti sempit, luas, dan paling luas. Pengertian kebijakan dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana, sedangkan dalam arti luas kebijakan merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Dalam pengertian yang paling luas, kebijakan merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Jadi pengertian kebijakan kriminalisasi adalah suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana),” atau kebijakan dalam menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana kejahatan. Jadi, pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” (penal policy). Kemudian perbuatan-perbuatan yang dikriminalkan didalam UU No. 39 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:
Pasal 102 Ayat 1:
ü Orang perorangan dilarang menempatkan Warga Negara Indonesia (WNI) untuk bekerja di luar negeri (pasal 102 jo pasal 4 UU PPTKILN).
ü Perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan TKI (pelaksana penempatan TKI swasta) wajib mendapat izin tertulis berupa SIPPTKI (Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia) dari Menteri Ketenagakerjaan (pasal 102 jo pasal 12 UU PPTKILN).
ü Setiap orang dilarang menempatkan calon TKI/TKI pada jabatan dan tempat pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian dan norma kesusilaan serta peraturan perundang-undangan, baik di Indonesia maupun di negara tujuan atau di negara tujuan yang telah dinyatakan tertutup sebagaimana dimaksud dalam pasal 27. Penjelasan 27 sebagai berikut : penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahanya telah membuat perjanjian tertulis dengan pemerintah Republik Indonesia atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenga kerja asing (pasal 102 jo pasal 27 jo pasal 30 UU PPTKILN).
Di dalam pasal 103 dijelaskan Ayat 1 :
ü Mengalihkan atau memindahtangankan SIPPTKI (Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia) kepada orang lain (pasal 103 jo pasal 19 UU PPKTILN).
ü Mengalihkan atau memindahtangankan SIP (Surat Izin Pengerahan) kepada pihak lain untuk melakukan perekrutan calon TKI (pasal 103 jo pasal 33 UU PPTKILN).
ü Melakukan perekrutan calon TKI yang tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut : (i). Berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada pengguna perseorangan sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun. (ii). Sehat jasmani dan rohani. (iii). Tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan. (iv). Berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat (pasal 103 jo pasal 35 UU PPTKILN).
ü Menempatkan TKI yang tidak lulus dalam uji kompetensi kerja (pasal 103 jo pasal 45 UU PPTKILN).
ü Menempatkan TKI yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan dan psikologi (pasal 103 jo pasal 50 UU PPTKILN).
ü Menempatkan calon TKI/TKI tidak memiliki dokumen yang meliputi : (i) Kartu Tanda Penduduk, ijazah pendidikan terakhir, akta kelahiran, atau surat keterangan kenal lahir, (ii). Surat keterangan status perkawinan, bagi yang telah menikah melampirkan copy buku nikah, (iii). Surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali, (iv). Sertifikat Kompetensi Kerja, (v). Surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi, (vi). Paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat, (vii). Visa kerja, (viii). Perjanjian penempatan TKI, (ix). Perjanjian penempatan kerja, (x). KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri). Pasal 103 jo pasal 51 UU PPTKILN.
ü Menempatkan TKI di luar negeri tanpa perlindungan program asuransi (pasal 103 jo pasal 68 UU PPTKILN).
ü Memperlakukan calon TKI secara tidak wajar dan tidak manusiawi selama masa di penampungan (pasal 103 jo pasal 70 ayat 3 UU PPTKILN).
Pasal 104 menjelaskan Ayat 1 :
ü Menempatkan TKI tidak melalui mitra usaha di negara tujuan (pasal 104 pasal 24 UU PPTKILN).
ü Menempatkan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri tanpa izin tertulis dari menteri (pasal 104 jo pasal 26 ayat 1 UU PPTKILN).
ü Mempekerjakan calon TKI yang sedang mengikuti pendidikan dan pelatihan (pasal 104 jo pasal 46 UU PPTKILN).
ü Menempatkan TKI di luar negeri yang tidak memiliki KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri). Pasal 104 jo pasal 64 UU PPTKILN.
ü Tidak memberangkatkan TKI ke luar negeri yang telah memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen (pasal 104 jo pasal 67 UU PPTKILN).
Dasar atau kriteria penetapan suatu tindakan atau perbuatan yang dikriminalkan diatas didasarkan pada syarat suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan kriminal, yang dalam hal ini syarat-syaratnya adalah sebagai berikut :
·         Sifat Melawan Hukum (Unsur Formil).
·         Pelakunya, yakni orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut, dapat dipersalahkan/disesalkan atas perbuatannya (Unsur Materiil).
·         Perbuatan yang dilakukan adalah merupakan perbuatan yang oleh hukum dinyatakan perbuatan yang dapat dihukum (Unsur Moril).
Memperhatikan unsur-unsur tindak pidana diatas menurut pendapat Makhrus Munajat, ketiga unsur diatas tidak selamanya terlihat jelas dan terang, namun dikemukakan guna mempermudah dalam mengkaji persoalan-persoalan hukum pidana Islam dari sisi kapan peristiwa pidana terjadi. Selain itu juga, menentukan suatu tindakan atau perbuatan kedalam perbuatan pidana didasarkan kepada sebuah kriteria, yang dalam hal ini Sudarto berpendapat, dalam menghadapi permasalahan kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Ø Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini (penggunaan) hukum pidana bertujuan menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
Ø Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki,” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau sprituil) atas warga masyarakat.
Ø Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle).
Ø Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Selain itu juga, untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindakan kriminal, perlu memperhatikan kriteria umum sebagai berikut:
Ø Apakah perbuatan itu tidak sesuai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban.
Ø Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
Ø Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya.
Ø Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
Dalam hal ini juga dipandang perlu melakukan sebuah pendekatan holistik (secara menyeluruh, bersifat secara keseluruhan), yang kemudian tersimpul dalam beberapa kriteria yang patut dipertimbangkan yang diajukan oleh Sudarto dalam menetapkan kriminalisasi, yaitu:
Ø Hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan pengurangan terhadap tindakan penaggulangan itu sendiri. Pemahaman dan perwujudan mengenai tujuan hukum pidana ini sangatlah perlu demi tercapainya kesejahteraan masyarakat dan anggota masyarakat secara seimbang.
Ø Ukuran untuk menetapkan perbuatan yang tidak dikehendaki atau tidak disukai oleh masyarakat disamping ketercelaan tindakan tersebut juga karena perbuatan itu merugikan atau mendatangkan korban.
Ø Harus diperhatikan cost dan benefit principle, artinya usaha untuk mengkriminalisasikan harus seimbang dengan hasilnya.
Ø Harus dipertimbangkan apakah kriminalisasi menambah beban dari aparatur penegak hukum sehingga tidak sampai menimbulkan overbelasting (kelampauan beban tugas sehingga peraturan itu menjadi kurang efektif).
Memperhatikan kriteria kriminalisasi diatas maka secara tegas dapat diketahui bahwasanya setiap perbuatan yang merupakan tindak pidana kejahatan akan mengalami suatu pendiskriminasian oleh masyarakat. Tujuan dikriminalkan suatu perbuatan menurut pendapat Makhrus Munajat adalah karena perbuatan itu sangat merugikan kepada tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaan-kepercayaan atau harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu menurut hukum syara’ harus dipelihara, dihormati serta dilindungi. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh konsep atau kaidah fiqh (Al-qowa’idul Fiqhiyyah) yang dalam hal ini dapat dikaitkan pada kaidah yang pertama, yakni : “segala sesuatu (perbuatan) tergantung pada tujuannya”. Mengapa dapat dikatakan demikian, karena setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia akan selalu dipengaruhi oleh tujuan, sehingga para pembuat undang-undang (legislator/ulil amri) telah menetapkan suatu kaidah mengenai tujuan mengapa perbuatan tersebut dikriminalkan. Para legislator atau ulil amri dalam hal ini telah menetapkan kriteria, jika dilihat akan sesuai dengan kriteria yang telah dijelaskan di atas.
Penetapan hukum yang dilakukan oleh ulil amri atau mujtahid atau legislator dalam hal perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri mendasarkan pada indikasi setiap perbuatan yang telah dikriminalkan di dalam undang-undang tersebut telah memiliki nilai kemudharatan atau akan membawa dampak pada rusaknya tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaan-kepercayaan atau harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, serta pada umumnya merugikan kepentingan dan ketentraman masyarakat, sehingga para ulil amri telah memiliki kesapakatan di dalam ijtihad jamai’, bahwasanya perbuatan yang termuat didalam kriteria perbuatan kriminal diatas dilarang untuk dilakukan oleh perorangan atau pun korporasi, yang dikarenakan telah memiliki sanksi yang cukup berat seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Abdul Wahab Khalaf menjelaskan bahwa tujuan umum disyari’atkan hukum adalah untuk merealisir kemaslahatan umat. Hal ini lah yang menjadi latar belakang ataupun tujuan para mujtahid mengkriminalkan perbuatan yaitu bertujuan untuk menjaga tatanan kemasyarakatan, atau menjaga kepercayaan-kepercayaan atau menjaga harta benda, menjaga nama baik, menjaga kehormatan, menjaga jiwa dan lain sebagainya, serta pada umumnya menjaga kepentingan dan ketentraman masyarakat sehingga tujuan penjatuhan hukuman pun akan tercapai yaitu menjaga akhlak, karena jika akhlak terpelihara maka akan terpelihara juga kesehatan badan, akal, hak milik, jiwa dan ketentraman masyarakat.
Berdasar pada tujuan dikriminalkan suatu perbuatan dan tujuan penjatuhan hukuman, maka dapat kita lihat, bahwasanya ketentuan pidana yang termuat didalam UU No. 39 Tahun 2004 mengenai perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri memberikan suatu penjelasan bahwa antara hukum positif dan hukum Islam masih memiliki keterikatan yang sama, yakni mengenai tujuan hukum dan pada satu sisi hukum positif masih mencari akar pemecahan permasalahannya (problem solver) pada kaidah-kaidah hukum Islam. Hal ini menunjukkan bahwa ditetapkan suatu perbuatan menjadi perbuatan pidana (kriminalisasi) yang termuat di dalam UU No. 39 Tahun 2004 memberi manfaat pada konsep hukum Islam, yaitu: melindungi atau memberi perlindungan terhadap nilai agama (hifdzul dien), memberi perlindungan terhadap akal (hifdzul aql), memberi perlindungan terhadap harta (hifdzul maal), memberi perlindungan terhadap keturunan (hifdzul nasl) dan yang terakhir memberi perlindungan terhadap kehormatan (hifdzul ‘ ird).

3.5.  Migrasi Para TKI Menurut Pandangan Islam
Migrasi sebenarnya dianjurkan oleh Islam, bahkan juga diberikan contoh sendiri oleh Nabi Muhammad. Nabi yang terakhir ini  melakukan hijrah, yaitu dari Makkah ke Madinah. Ketika  itu,  nabi sudah berusia di atas  50 tahun, setelah berjuang mengenalkan Islam di Makkah selama kurang lebih 13 tahun. Oleh karena itu, migrasi tidak saja penting untuk anak muda, melainkan orang tua pun tidak mengapa.
Migrasi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, adalah untuk menyampaikan ajaran Islam. Usaha itu  ternyata berhasil, yaitu membangun masyarakat Madinah yang gemilang dan bahkan dikenal hingga sekarang. Hijrah Nabi diterima oleh masyarakat Madinah   dengan baik, yang selanjutnya mereka itu disebut kaum Anshar. Dalam berhijrah itu,  Nabi diikuti oleh sekelompok orang yang disebut kaum Muhajirin. Kedua kelompok itu, dipersatukan dan bersama-sama membangun kehidupan  di bawah bimbingan Nabi atas dasar ajaran wahyu yang diterimanya.
Motivasi berhijrah, bukan didorong oleh kepentingan ekonomi, misalnya untuk mencari pekerjaan, melainkan untuk kepentingan yang amat mulia, yaitu membangun tatanan  sosial yang baru, yaitu kehidupan atas dasar petunjuk dari Tuhan. Diingatkan oleh Nabi tentang motivasi  atau  niat dalam berhijrah.  Nabi pernah mengatakan bahwa,  segala pekerjaan atau amal tergantung dari niatnya. Manakakala hijrah atau migrasi diniatkan untuk mencari dunia atau isteri yang akan dinikahi,  maka hijrahnya hanya akan mendapatkan apa  yang diniatkan itu.
Peringatan  tersebut menunjukkan bahwa,  bermigrasi hendaknya jangan hanya berorientasi memenuhi dorongan yang sederhana, misalnya mencari kekayaan. Migrasi yang dicontohkan oleh nabi adalah untuk membangun nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Di sanalah maka para migram menjadi dihormati oleh siapapun, termasuk oleh masyarakat yang sebelumnya telah  bertempat tinggal di tempat itu. Namun sebaliknya, jika migrasi itu hanya untuk bekerja mendapatkan upah, memang tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali upah itu.
Pada saat hari raya idul fitri seperti ini, salah satu isu yang menonjol adalah tentang mudik, yaitu kembali sementara  ke daerah asal.  Di zaman modern ini, migrasi adalah hal yang lazim.  Banyak orang berpindah dari desa ke kota yang disebut dengan urbanisasi atau bahkan berimigrasi, yaitu berpindah dari satu negara ke negara lainnya, baik perpindahan sementara atau berpindah untuk menetap di tempat yang baru. Kebanyakan migrasi pada sekarang umumnya didorong oleh semangat untuk meningkatkan taraf ekonomi. Banyak orang desa bermigrasi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan upah lebih baik. Dalam kontek yang lebih luas juga tampak bahwa  asal arus perpindahan masyarakat, apalagi kalangan bawah,  selalu berasal dari negara berkembang ke negara-negara yang berekonomi lebih baik. Indonesia masih termasuk  diantara negara asal migrasi, selain India, Philipina, Banglades,  dan lain-lain.
Seumpama ke depan bangsa ini berhasil memperbaiki kualitas pendidikannya, misalnya pesantren-pesantren  mampu membekali para santrinya, selain menguasai kitab kuning, juga  ilmu pengetahuan dan teknologi, maka akan berhasil meniru Rasulullah membangun masyarakat yang lebih maju di tempat tujuan migrasi itu. Selama ini lulusan pesantren, oleh karena belum  dibekali dengan pengetahuan yang memadai, maka peran-peran yang dilakukan di tempat baru kurang  strategis. Lapangan pekerjaan yang digeluti belum memberikan pengaruh luas dalam membangun  tatanan sosial yang ideal di tempat baru yang dituju.
Demikian pula lembaga pendidikan pada umumnya, termasuk perguruan tinggi sekalipun belum berhasil mengantarkan lulusannya meraih kualitas unggul. Sehingga tatkala berimigrasi belum  bisa mengikuti jejak Rasulullah, membangun pengaruh yang luas di tempat  baru yang dituju. Banyak  lembaga pendidikan,  yang orientasi lulusannya baru sekedar  untuk mendapatkan pekerjaan, bahkan menjadi  tenaga yang diupah. Pada umumnya, mereka belum berorientasi pada cita-cita agar berhasil memberi upah terhadap tenaga kerja yang dipekerjakannya, dan apalagi usaha itu di luar negeri. Oleh karena itu ke depan, masih perlu upaya peningkatan pemahaman dan pengahayatan ajaran Islam secara lebih utuh dan mendalam  lagi, agar ummat Islam tidak sebatas menangkap hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu mendasar, misalnya terlalu berlebih-lebihan soal penetapan jatuhnya hari raya.  Ummat Islam harus berhasil menyelesaikan problem-problem kehidupan yang lebih mendasar, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah, termasuk dalam berhijrah atau bermigrasi. Wallahu a’lam.








BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

4.1.  Simpulan
Berdasarkan kajian pustaka dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan beberapa simpulan antara lain sebagai berikut:
4.1.1. Determinan migran yang paling utama adalah faktor ekonomi. Ini terlihat dari pola dan arus migrasi yang terjadi di Indonesia sebagaimana dilaporkan oleh hasil-hasil penelitian tentang kependudukan. Kesenjangan yang sangat jauh antara tingkat ekonomi di Jawa dengan luar Jawa mengakibatkan arus migrasi mengalir dari luar Jawa menuju ke Pulau Jawa. Sehingga tepatlah kalau dikatakan bahwa migrasi di Indonesia masih bersifat Jawa "centris", dengan pengertian tujuan terbesar migrasi di Indonesia masih dominan menuju ke kota-kota atau daerah-daerah di pulau Jawa.
4.1.2. Propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah merupakan sumber/asal migran terbesar di Indonesia pada tahun 1980, 1990 dan 1995. Tidak ada satu propinsi pun yang ada di Indonesia yang tidak mengalami perpindahan penduduk, baik perpindahan masuk, maupun perpindahan keluar. Fenomena migran melahirkan masalah-masalah sosial yang menarik untuk dikaji dalam pengembangan keilmuan ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi.
4.1.3. Migrasi sebenarnya dianjurkan oleh Islam, bahkan juga diberikan contoh sendiri oleh Nabi Muhammad. Nabi yang terakhir ini  melakukan hijrah, yaitu dari Makkah ke Madinah. Ketika  itu,  nabi sudah berusia di atas  50 tahun, setelah berjuang mengenalkan Islam di Makkah selama kurang lebih 13 tahun. Oleh karena itu, migrasi tidak saja penting untuk anak muda, melainkan orang tua pun tidak mengapa.




4.2.  Saran-Saran
Berdasarkan hasil simpulan di atas, maka dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut:
4.2.1. Bagi para peserta didik sebaiknya selalu menanamkan rasa tenggang rasa antarsuku/agama kepada peserta didiknya agar kehidupan di kelas tidak terhalangi oleh tembok perbedaan antara orang asli pribumi dengan orang migran.
4.2.2. Bagi para orang tua sebaiknya selalu memberi semangat kepada anaknya agar tidak merasa minder apabila keluarganya disebut keluarga migran.
4.2.3. Para peserta didik sebaiknya memiliki rasa menghargai antar sesama manusia walaupun berbeda suku/budaya.




















DAFTAR PUSTAKA

Blogspot. (2011). “http://rOEDi.blogspot.com/pengertian_dari_migrasi.html”, diakses pada tanggal 15 November 2011.
Syaukat, Ahmad. (1985). Faktor-faktor yang menentukan Pilihan Daerah Tujuan Migrasi Penduduk Jawa Barat Berdasarkan Data SUPAS. Jakarta: SUPAS.
Pascasarjana Program Studi Kependudukan dan ketenagakerjaan. (1997). Jakarta: Universitas Indonesia
Tamtiari, Wini. (1999). “Dampak Sosial Migrasi Tenaga Kerja ke Malaysia”, Populasi 10 (2).
Tisdell, Clem and Gopal Regmi. 2000. “Push-and-Pull Migration and Satisficing Versus Optimizing Migratory Behavior: A Review And Nepalese Evidence”, Asian and Pacific Migration Journal 9 (2).
Tjiptoherijanto, Prijono. (2000). “Mobilitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi”, Warta Demografi, Tahun Ke 30, No. 3.
Todaro, Michael P.. (1969). “A Model of Labour Migration and Urban Unemployment”. American Economic Review.
Wikipedia, (2011). “http://www.wikipedia.com/2009/Migrasi_Nabi_Nuh.html”, diakses pada tanggal 15 November 2011.
Yosephine, Susane. (1989). Faktor-faktor Penentu Migrasi Masuk dan Migrasi Keluar Antar Propinsi di Indonesia”. Jakarta: Program Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia.
Young, E., “Migrasi” dalam Lucas D., dkk. (1884). Pengantar Kependudukan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar